Jumat, 19 September 2008

7 Bapak Bangsa


Penulis: Iswara N Raditya, dkk
Penerbit: RahZenbook
Tebal: 602 halaman
Harga: Rp 150.000
NOTE: Hanya edisi terbatas HARDCOVER dan dilayani jika ada pesanan.


Buku ini membincangkan tentang bapak dan kebangsaan nasional. Mengulik ihwal peran para Bapak Bangsa--dengan spesialisasi mereka masing-masing--dalam menggagas, membentuk, serta membangun Indonesia. Kesadaran berbangsa mulai timbul justru ketika asa kerap terkikis manakala peperangan demi peperangan yang dilakoni para pemimpin lokal tiada membuahkan gemilang. Kolonialis Belanda selalu unggul di segala sektor. Tidaklah mengherankan, para pejuang lokal nyaris selalu lebur di setiap titik tempur.

Berakhirnya abad ke-19 berarti pula mempersiapkan gaya juang model baru. Tak lagi dengan baku hantam dan adu pukul yang tak terwadahi dalam kesatuan, melainkan dengan bersenjatakan otak, pena, juga menghimpun aksi massal. Gerakan rakyat yang tampil dalam bentuk-bentuk seperti suratkabar dan jurnal, rapat dan pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian, teater, dan pemberontakan, merupakan fenomena yang paling mencolok bagi orang Belanda untuk melihat kebangkitan Bumiputera pada awal abad ke-20.

Para pembebas yang kelak mewujud sebagai para Bapak Bangsa Indonesia mulai bermunculan. Mereka akan buat sadar bahwa bangsa ini bukan bangsa terperintah, bukan bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa, bukan inlander goblok yang hanya pantas untuk diludahi, juga bukanlah penduduk kelas kambing yang berjalan menyuruk-nyuruk memakai sarung dan ikat kepala, merangkak-rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan-majikan kolonial.

Tujuh "Bapak Bangsa" yang disajikan dalam buku ini, seperti Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Hatta, Soedirman, Soeharto, Soekarno, Tirto Adhi Soerjo, dan Tjokroaminoto.

Sebagai Sang Pemula, tampillah Tirto Adhi Soerjo (1880-1918). Dialah Bumiputera yang pertama-tama menyuluh dan membela rakyat melalui kuasa media massa. Pada 1903, Tirto menerbitkan Soenda Berita. Inilah suratkabar orang Indonesia pertama yang dimodali, dikelola, serta diisi tenaga-tenaga Bumiputera sendiri. Tirto, Raden Mas dari Blora, kembali menerjang pada 1907 dengan meluncurkan Medan Prijaji yang menjadi suratkabar advokasi rakyat yang, untuk pertamakalinya di Indonesia, memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada rakyat tertindas. Medan Prijaji benar-benar sudah menjadi medan berkelahi. Tirto adalah Bapak Pers Indonesia.

Sebagai penerus setelah Tirto Adhi Soerjo “dipensiunkan” dari medan pergerakan, nama Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934) melejit, awal 1913. Dia penggerak massa terbesar dan teroganisir pertama, karena di kurun sebelumnya belum pernah ada organisasi yang memiliki massa sebesar Sarekat Islam (SI) pada era Tjokroaminoto memimpin, juga dalam metode perjuangannya yang modern. Memadukan Islam dan politik, Tjokroaminoto menjulang sebagai “Raja Jawa yang Tidak Pernah Dinobatkan”, demikian Belanda menyebutnya. Karena kuatnya pengaruh Tjokroaminoto dalam memobilisasi massa di bawah SI, dia juga dikenal dengan julukan “Gatotkoco Sarekat Islam.” Tjokro adalah Bapak Pergerakan Islam Indonesia.


Ketika Tjokroaminoto sedang memulai masa-masa jayanya, terdapatlah seorang pangeran dari Kraton Pakualaman yang membikin geger dunia kolonial. Beringsut dari Jogjakarta ke Bandung, Soewardi Soerjaningrat (1889-1959) menabalkan dirinya sebagai Bumiputera paling pemberani, menggebrak pemerintah dengan tulisan legendarisnya berjudul “Als ik eens Nederlander Was” atau “Seandainya Saya Seorang Belanda”. Soewardi mengecam perayaan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Prancis yang dirayakan di Indonesia, yang justru masih dijajah Belanda.

Akibat keberanian itu, Soewardi kemudian dibuang ke Belanda sejak 1913, dan baru kembali ke tanah air pada 1919. Sempat bergabung kembali dengan kerasnya dunia pergerakan--dan sempat pula dipenjara--garis juang Soewardi mendadak beralih jalur demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dia tak lagi radikal, lebih bijaksana, dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Jogjakarta. Beberapa tahun kemudian, 28 Februari 1928, Soewardi Soerjaningrat mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara yang berarti “Guru Perantara Dewa”. Sejak itu pula, predikat sebagai “Bapak Pendidikan Nasional” mulai meresap ke nama besarnya.

Berlanjut ke dwitunggal Soekarno-Hatta. Keduanya berjalan di masa yang seiring, setingkat di bawah era Tjokroaminoto dan Ki Hadjar Dewantara. Soekarno-Hatta seringkali padu namun tak jarang pula bertolak belakang. Bahkan Soekarno pernah menyatakan Hatta sebagai “musuh” alamiahnya. Hatta pun sempat menyebut Soekarno sebagai “seorang diktator yang mengagungkan dirinya sendiri dan lupa daratan.”

Soekarno (1901-1970) mulai bersinar benderang memasuki dekade 1920-an, berlanjut dengan pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927. Bersama PNI, lelaki kelahiran Blitar itu bergerak berani, mencemaskan pemerintah kolonial. Sampai akhirnya--setelah beberapa kali dibui--Soekarno dihukum buang. Manifesto politiknya, “Indonesia Menggugat”, yang disampaikan di hadapan majelis hakim di pengadilan negeri Bandung, menjadi pembelaan dirinya sebelum akhirnya dia dibuang ke Flores, kemudian dipindah ke Bengkulu, sampai kedatangan tentara Jepang tahun 1942.

Sedangkan Mohammad Hatta (1902-1980), si putera Minang kelahiran Bukitinggi, Sumatera Barat, mulai aktif di pergerakan nasional dengan meretas karir sebagai bendahara berbagai perhimpunan, dari Jong Sumatranen Bond (JSB) di Padang dan Batavia, lalu ketika Hatta belajar ekonomi di Indische Vereeniging (IV), organisasi pelajar Indonesia di Belanda –kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI)– yang kemudian dipimpinnya. Sama seperti Soekarno, pergerakan Hatta membuatnya ditangkap pemerintah Belanda pada 23 September 1927. Hatta pun melancarkan pledoi politiknya yang berjudul “Indonesie Vrij” atau “Indonesia Merdeka”.

Setelah 10 tahun lebih 10 bulan Hatta hidup di Belanda, ia akhirnya berangkat pulang ke tanah air pada 20 Juli 1932, dengan menggondol titel Doktorandus dari Nederlandsch Handelshogeschool te Rotterdam (Sekolah Tinggi Dagang Rotterdam). Dengan kemampuan mumpuni inilah, terutama ihwal ekonomi-koperasi, Hatta tak pelak didaulat sebagai “Bapak Ekonomi Indonesia”.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Soekarno-Hatta akur kembali. Bahkan ketika Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, dwitunggal inilah yang menjadi proklamatornya, atas nama bangsa Indonesia, dan berlanjut dengan terpilihnya kedua tokoh itu sebagai presiden dan wakil presiden RI yang pertama. Namun kemesraan itu tak langgeng. Lagi-lagi karena perbedaan pandangan politik, dwitunggal bercerai. Hatta mengundurkan diri dari jabatan wapres tanggal 1 Desember 1956, setelah sempat membuat prestasi paling gemilang dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-29 Oktober 1949, yang menghasilkan penyerahan kekuasaan penuh dari Kerajaan Belanda kepada Indonesia.

Soekarno akhirnya melenggang sendirian. Meneruskan Revolusi Indonesia –yang dianggapnya belum selesai– di bawah kendalinya sebagai “Pemimpin Besar Revolusi”. Keteguhan dan ketunggalan itu pula yang mengantarkan sang penyambung lidah rakyat Indonesia itu sebagai pemimpin tertinggi, sebagai “Bapak Revolusi Indonesia”, hingga akhirnya Soekarno terpaksa hanya bisa gigit jari melihat sepakterjang seorang anak desa, Soeharto, yang di kemudian hari menggantikannya duduk di singgasana RI.

Sebelum membahas apa dan siapa si anak desa yang mujur itu, penggalan sejarah Indonesia pascakemerdekaan mau tak mau harus terlebih dulu menolehkan pandangan kepada seorang anak desa lainnya, Soedirman namanya. Soedirman (1916-1950), kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, di masa remajanya aktif menempa diri di kawah pergerakan melalui organisasi kepanduan Hisbul Wathon (HW) dan Muhammadiyah. Sempat menjadi pengajar di guru di sekolah menengah Muhammadiyah Cilacap, Soedirman nyatanya malah menjadi besar lewat kerasnya dunia militer. Dia bergabung dengan kesatuan Pembela Tanah Air (PETA), bentukan Jepang, pada 1943.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Soedirman kembali menekuni ranah tentara dan dipercaya sebagai Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) wilayah Banyumas. Prestasi yang paling menentukan arah kehidupan Soedirman selanjutnya adalah keberhasilannya memukul mundur pasukan Belanda pada Desember 1945 dalam peristiwa Palagan Ambarawa, sebagai upaya mempertahankan kedaulatan RI. Atas prestasi itu, Soedirman terpilih sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, angkatan perang RI yang pada akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Panglima Besar Jenderal Soedirman adalah penentang jalur diplomasi dengan Belanda yang dilakoni para pemimpin negara RI. Dengan kondisi tubuh yang sakit parah, Soedirman tetap memimpin perang gerilya hingga akhirnya Soekarno memintanya menghentikan pertempuran dengan disepakatinya penyerahan kedaulatan secara penuh dari Kerajaan Belanda kepada Indonesia pada 1949. “Bapak Tentara Nasional Indonesia” Soedirman wafat dalam usia muda karena sakit yang dideritanya, namun namanya tetap menjadi yang terdepan dalam sejarah ketentaraan Indonesia.

Si anak desa dari Kemusuk, Jogjakarta, Soeharto (1921-2008) muncul sebagai pahlawan di saat kondisi negara sedang labil. Insiden Gerakan 30 September 1965--dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Darat (AD) sebagai aktor utamanya--yang memakan korban para perwira tertinggi AD, menjadikan impian Soeharto untuk menggapai langit-langit kepemimpinan militer terwujud. Ia segera diangkat menjadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dan Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengendalikan situasi keamanan dalam negeri. Lembar sakti SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret 1966) kian memperlancar urusan, bahkan terbuka peluang untuk merajai puncak kuasa pemerintahan, militer dan sipil.

Keraguan Soekarno dalam menyikapi kondisi perpolitikan, dengan masih getol mempertahankan sosialisme sebagai rangkaian tak terpisahkan dari konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), membikin Soeharto dengan mudah mampu menguasai media, massa, dan mahasiswa. Akhirnya Soekarno terguling juga, dan arus politik mengantarkan Soeharto menduduki tahta sebagai Presiden RI ke-2. Jenderal Soeharto resmi dilantik pada 27 Maret 1968. Selama lebih dari 30 tahun, Indonesia berkonsentrasi pada peningkatan ekonomi dan pembangunan. Swasembada pangan yang berhasil dicapai pada 1985 melejitkan namanya sebagai salahseorang kepala negara berkembang yang paling sukses. Sederet program yang ditawarkan dan dijalankannya, mulai dari Repelita, Keluarga Berencana, transmigrasi, pemerataan pembangunan, dan lainnya, kian memperkokoh Soeharto sebagai pemimpin besar berjuluk “Bapak Pembangunan Indonesia”. Terlepas dari segala kontroversi dan intrik yang senantiasa mengikuti Soeharto sejak lengser keprabon hingga pungkasan nafasnya, peran besar sang jenderal dalam membangun Indonesia tetap tak terbantahkan, bahkan dunia pun mengakuinya.




TERTARIK? HUB NO. 0888-692-6884 (MBAK NURUL HIDAYAH) atau email: iboekoe@gmail.com. RABAT HINGGA 30% SETIAP PEMBELIAN. BELUM TERMASUK ONGKOS KIRIM (DILUAR JOGJA&JAWA)

Tidak ada komentar: